Learning by Selling / Trading

contact:mh.yunianto@gmail.com
Rahasia Top 10 Besar Google


WACANA

18 September 2008
McDonaldisasi Televisi di Bulan Suci

Oleh Triyono Lukmantoro

MENDADAK sedemikian beragama. Itulah kesan yang muncul ketika kalangan pemirsa menyaksikan layar kaca. Stasiun-stasiun televisi sangat gencar menayangkan berbagai program bernuansa islami pada Ramadan kali ini.
Dari tayangan olahraga, kuis, talk show, lawak, sinetron, hingga aneka rupa infotainment yang mengumbar gosip selebritas, semuanya dibalut dengan rasa religiositas yang menggelora. Itukah tanda industri televisi menunjukkan pertaubatan? Benarkah hal itu adalah pengabdian terbaik televisi di Bulan Suci? Bukan! Fenomena itu hanya merupakan strategi berjualan.

Tidak terlalu aneh, ketika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengevaluasi 10 hari pertama tayangan televisi, hasilnya kurang menggembirakan. Penilaian dilakukan terhadap tayangan televisi yang masih menunjukkan adegan-adegan yang kurang sesuai dengan tema yang mendukung kesucian Ramadan 1429 H.

Ada empat aspek yang dijadikan kriteria, yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, pornografi, dan mistis. Keempat hal itu masih mencuat dalam acara-acara yang ditayangkan menjelang berbuka puasa (pukul 17.00-19.00) dan saat sahur (pukul 03.00-05.00). Secara kuantitatif, terdapat 802 adegan yang dinilai kurang sesuai dengan momentum Ramadan.

Kecaman dan penilaian kritis boleh saja berhamburan, namun industri televisi beroperasi dalam logikanya sendiri. Ramadan secara otomatis masuk dalam rengkuhan komodifikasi. Ramadan diolah dan dijadikan produk yang dijual untuk mendatangkan keuntungan besar. Waktu tayang menjadi lebih panjang. Aneka program yang menyentuh nilai-nilai keagamaan sengaja dihadirkan.

Perhatian para pemirsa mudah dijaring. Apalagi makna Ramadan mengalami banyak pergeseran, yakni dari bulan suci yang bisa dimanfaatkan untuk menjalankan peribadatan menjadi momentum berkonsumsi secara berlebihan.
Para industrialis televisi cerdas membaca perubahan nilai itu. Secara sadar atau bahkan telah mengendap dalam benak mereka, metode McDonaldisasi begitu lihai dijalankan. McDonaldisasi, sebagaimana dikemukakan George Ritzer (The McDonaldization of Society, 2004), adalah proses-proses yang di dalamnya prinsip-prinsip restoran cepat saji mendominasi masyarakat.

McDonaldisasi menjadi langkah konkret rasionalisasi, yakni analisis yang berdasarkan pada sarana/tujuan yang berkepentingan dengan efisiensi dan kontrol sosial yang diformalisasikan. Pada Ramadan ini, industri televisi menampakkan wajah keterusterangan (kalau tidak ingin disebut kevulgaran) ketika mempraktikkan McDonaldisasi itu.
Empat Unsur
Ada empat unsur yang dijalankan para industrialis televisi dalam menjalankan McDonaldisasi pada Bulan Puasa ini. Pertama, efisiensi yang berarti metode optimal untuk menyelesaikan tugas tertentu. Sarana (biaya) yang dibutuhkan dibuat sehemat mungkin untuk mampu menggapai hasil (keuntungan) maksimal. Waktu merupakan unsur yang paling diperhitungkan; semakin cepat waktu digunakan, dinilai semakin efisien. Pelayanan terbaik kepada konsumen dalam restoran cepat saji dievaluasi dari seberapa cepat konsumen yang lapar dilayani untuk mendapatkan rasa kenyang.

Dalam bisnis televisi, perhitungan biaya keuntungan itu tidak hanya diukur dari penggunaan waktu. Biaya produksi untuk program tertentu harus diperhitungkan secermat mungkin untuk mendatangkan penghasilan sebanyak-banyaknya.

Simaklah, misalnya, acara-acara televisi menjelang buka puasa dan santap sahur, selalu berpacu dengan durasi yang telah ditetapkan. Penggunaan biaya finansial dapat dilihat pada acara kuis. Para pemirsa diminta mengirimkan layanan pesan pendek (short message service/SMS) premium sebanyak-banyaknya. Nilai akumulasi SMS berharga mahal itulah, yang sebagian kecil dikemas sebagai hadiah kepada segelintir pemenang. Ada unsur judi di dalamnya. Tapi, apa boleh buat, sihir televisi menyirnakan kecerdasan.

Kedua, kalkulabilitas yang bermakna semua hal harus dapat dikalkulasikan, dihitung, dan dikuantifikasikan. Bahkan, harus ditegaskan, terdapat kecenderungan untuk memberikan penekanan kepada kuantitas ketimbang kualitas. Gejala tersebut mengarah kepada pemahaman bahwa kualitas itu senilai dengan sesuatu yang berukuran besar. Cita rasa yang bersifat subjektif tidak pernah menjadi problem yang dipikirkan. Jadi, semakin banyak, berarti semakin bagus.

Fenomena tersebut dengan mudah ditemukan pada aneka acara Ramadan di televisi. Semua acara mendapatkan label atau sekadar polesan tipis ibadah puasa. Acara lawak, infotainment, atau sinetron berjumlah sedemikian banyak, sehingga sulit dibedakan muatan kualitasnya.

Penonjolan pada aspek eksoterisme, seperti penggunaan kata-kata yang berkesan suci, pemakaian baju koko dan jilbab untuk pemeran protagonis, serta kebiasaan berbuka puasa dan santap sahur para selebritas, menjadi tampilan yang kian ditonjolkan. Berharap mendapatkan kemendalaman dan esoterisme (kehalusan) nilai-nilai agama yang menggugah nurani dan pemikiran, sama saja menunggu kehampaan.

Ketiga, prediktibilitas yang berarti segala sesuatu harus dapat diperkirakan. Hal tersebut memberikan pengandaian bahwa masyarakat hanya ingin mengetahui sesuatu yang diharapkan pasti sama pada tempat dan waktu tertentu.

Masyarakat tidak hendak menginginkan atau mengharapkan kejutan yang besar. Semuanya menjadi serbarutin, sangat diulang-ulang, dan gampang diperkirakan. Itulah wujud cara pelayanan yang serbadistandarisasikan, sehingga mudah pula untuk mendapatkan prediksinya.

Mekanisme semacam itu mudah dijumpai pada tayangan drama televisi yang dibintangi artis-artis yang sedang laris di pasaran. Misalnya, Marshanda yang tampil sebagai bintang pada sinetron Adam dan Hawa (2006) dan Sholeha (2007), lantas muncul kembali pada Aqsa dan Madina pada tahun ini.

Wajah Marshanda, jalan cerita, konflik di antara tokoh-tokoh baik versus jahat, dan penyelesaiannya, pasti mudah ditebak. Hal serupa juga terjadi pada sinetron yang dibuat kelanjutan ceritanya, seperti Para Pencari Tuhan 2 yang dibintangi Deddy Mizwar dan Trio Bajaj.

Nilai akumulasi SMS berharga mahal itulah, yang sebagian kecil dikemas sebagai hadiah kepada segelintir pemenang. Ada unsur judi di dalamnya. Tapi, apa boleh buat, sihir televisi menyirnakan kecerdasan. 

Keempat, menggantikan manusia dengan jenis teknologi nonmanusia. Secara khusus, penggantian itu diarahkan untuk memperbesar kontrol. Bukankah segala ragam teknologi, misalnya komputer, lebih mudah dikendalikan ketimbang sosok yang bernama manusia?

Teknologi itu sendiri dipandang sebagai mesin otomatis yang mampu menjalankan perhitungan statistik secara lebih tepat dan pasti. Sampai pada akhirnya, teknologi tersebut yang mengendalikan sang manusia, yang digunakan untuk mengabdi kepada sistem tontonan itu sendiri.

Realitas itu dapat disimak pada penghitungan rating televisi yang dijalankan AGB Nielsen. Rating adalah ukuran seberapa banyak program televisi disaksikan masyarakat. Mesin yang digunakan adalah peoplemeter yang dipasang pada 2.080 rumah tangga yang tersebar di 10 kota besar, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin.

Jangan heran, jika tayangan-tayangan televisi pada Bulan Puasa selalu bercita rasa seragam, karena industri televisi sangat mematuhi rating yang nonmanusia.
Waktu Kerja
Dampak paling konkret dari McDonaldisasi televisi di Bulan Suci ini adalah eksploitasi terhadap pemirsa semakin menjadi-jadi. Kenyataan itu dapat dijelaskan dengan merujuk kepada pemikiran Dallas Walker Smythe (1907-1992), yang menyatakan bahwa seluruh waktu non-tidur adalah waktu kerja. Adapun waktu kerja diabdikan untuk produksi komoditas, selain juga produksi dan reproduksi tenaga kerja. 

Waktu kerja itu kemudian dijual kalangan industrialis televisi kepada pemasang iklan. Jadi, menyaksikan televisi bukan sekadar bernilai untuk menunggu waktu berbuka puasa atau kerja sampingan di kala bersantap sahur. Bukankah justru selama Bulan Puasa waktu kerja para pemirsa semakin intensif dan bertambah panjang?

Kalangan industrialis televisi mengakui hal itu. Pukul 03.00-05.00 yang biasanya dianggap jam mati, karena amat sedikit yang menyaksikan televisi sehingga pemasukan iklan sepi, justru menjadi jam tayang utama (prime time).
Harga iklan yang dipatok pun tinggi. Tarif iklan sinetron Para Pencari Tuhan 2, misalnya, seharga Rp 18 juta per 30 detik. Berapa banyak profit yang berhasil dikeruk para industrialis televisi, pasti tidak sedikit jumlahnya. Ramadan memang bulan penuh berkah, terlebih lagi bagi para industrialis televisi yang menjalankan McDonaldisasi secara meriah.(68)

– Triyono Lukmantoro, pengajar Sosiologi Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang. 

0 komentar

Posting Komentar

Langganan: Posting Komentar (Atom)

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign

Sign by Danasoft - Get Your Free Sign